Saturday, March 15, 2008

Co gito Ergo Sum

CO GITO ERGO SUM : Filosofi Eksistensialisme yang Menjauhkan Manusia dari Tuhan



Seringkali kita dengar, baca ungkapan, tulisan "co gito ergo sum", dalam bahasa Inggris artinya I think therefore I'am atau Peracisnya Je Pense donc Je suis; sebuah ungkapan Bahasa Latin yang dulu dijadikan motto OSIS SMK kita tercinta ini. Sebenarnya apakah arti ungkapan tersebut? dan adakah sejarah yang menjadi latar belakang munculnya; serta penyebab kepopuleran ungkapan asing tersebut di Indonesia.
Dalam paham rasionalisme Descartes, dikatakan bahwa kebenaran sesuatu boleh diyakini kalau sesuai dengan kriteria yang dirumuskan oleh rasio. Dalil Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada), oleh Nasr juga dinilai sebagai metode kaca mata kuda yang terlalu mengagungkan rasio dan cenderung menafikan keberadaan manusia lebih utuh sebagai totalitas yang bereksistensi.
Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksudnya kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum" berarti sebagai berikut. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir, sayalah yang berpikir" salah. Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada. Atau dalam bahasa Latin: COGITO ERGO SUM, aku berpikir maka aku ada.
Pengetahuan yang hanya dihasilkan oleh kesadaran psikis (bukan spiritual) dan rasio hanyalah bersifat terbagi-bagi dan sementara. Pengetahuan yang akan membawa kebahagiaan dan kedamaian, hanyalah akan dapat diraih bila seseorang telah membuka mata hatinya, atau visi intellectusnya, lalu senantiasa mengadakan pendakian rohani ke arah titik pusat lewat hikmah spiritual agama. Manusia yang demikian, meskipun ia hidup dalam batasan ruang dan waktu serta berkarya dengan disiplin ilmunya yang fragmentalis, namun ia akan dapat memahami rahasia watak alam sehingga dapat mengelolanya. Sementara mata hatinya menyadarkan bahwa alam yang dikelolanya adalah sesama makhluk Tuhan yang mengisyaratkan Sang Penciptanya, Yang Rahman dan Rahim.

Akibat Filosofi Co Gito Ergo Sum
Filosofi Descartes ini berkembang, memperpesat berkembangnya paham-paham tidak percaya adanya Tuhan; misalnya yang ditulis oleh Karl Marx dalam Das Kapital, yang kemudian diikuti oleh filosof-filosof Hegel,Lenin, dal lain-lain filosof Islam Modernis didikan Orientalis (Yahudi, red.
Sehingga eksistensi manusia di dunia ini tidak ada kaitannya dengan eksistensi Tuhan; atau bahkan tidak mengenal tuhan, karena eksistensi Tuhan memang tidak bisa dijangkau oleh akalnya orang-orang bodoh lagi sesat. Jadi, karena mereka tidak mempercayai perkara yang tidak masuk akal tersebut, mereka tidak percaya adanya aturan, dogma serta sanksi akibat perbuatan di dunia di alam setelah mati. Sehingga mereka bebas berfikir, berkata dan berbuat tanpa terikat dengan dogma Tuhan yang eksistensisnya abstrak. Kalaupun ada orang Muslim yang menganut filosofi itu, maka biasanya akan menolak perkara-perkara dogmatis atau perkara-perkara yang tak masuk akal ditafsirkan dengan konsep yang bisa diterima akal
Ada beberapa dari pendukung "co gito ergo sum" beragumen kalau "aku berfikir maka aku ada " maksudnya ketika seseorang mau berfikir, berkreasi,maka ia akan meimiliki eksistensi di masyarakat, yakni ia akan diakui oleh masyarakat. Pola fikir seperti itulah, menurut penulis, yang akanmenjerumuskan seseorang kepada pengagungan fikir dan akal diri sendiri. Padahal Allah akan memuliakan seseorang bukan semata akal dan ilmu yang ia miliki; tapi karena ketaqwaan dia (Al Hujurat, 49:13; kalau ada yang beralasan karena berfikir manusai akan diangggap sebagai orang yang berakal (Al Imran, 3:189-191) atau ilmu manusia diangkat derajatnya
Benar, akal, dan berfikir adalah sarana mencapai ilmu; tapi akal dan fikir yang dimaksud adalah akal dan fikir yang membawa manusia kepada ketaqwaan dan penghambaan kepada Allah; bukan yang mengkoltuskan akal dan fikir diri sendiri.Bukan fikir-fikr yang liar sehingga memaksa untuk merasionalkan perkara-perakra yang sudah dogmatis. dan memang hanya 10%-15% saja perkara di dunia iani yang bis amasuk akal; apalagi kehidupan setelah mati; semua itu harus diyakini dengan iman dan kekuatan taqwa.Kalau ada yang berfikir dengan akal, kita temukan kebenaran; al Qur'an adalah kebenaran yang sempurna (al-Maidah, 4:). Kalaupun ada perkara baru yang memerlukan ijtihad akal dan fikir, tidak sembarang orang bisa berijtihad; kecuali belum datangnya dogma dan dalam situasi darurat; anatara hidup dan mati.
Demikian kritik-kritik yang muncul yang ditujukan kepada pemikiran Barat kontemporer. Manusia modern, telah menciptakan situasi sedemikian rupa yang berjalan tanpa adanya kontrol, sehingga karenanya mereka terperosok dalam posisi terjepit yang pada gilirannya tidak hanya mengantarkan pada kehancuran lingkungan, melainkan juga kehancuran manusia



Penulis,

Alumni Fakultas Filsafat dan Sastra UNS Sebelas Maret Surakarta.

1 comment:

referensi said...

kutipan ayat diatas memang benar adanya, akan tetapi justru penempatan kata "ketakwaan" ada setelah manusia berakal dan berpikir, ketakwaan tiada tanpa akal dan pikiran, justru kelebihan manusia dibanding mahluk ciptaan Allah yang lain adalah akal dan pikirannya, ini menunjukkan bahwa akal dan pikiran manusia berada pada tempat yang agung. dan tentunya bukan berarti menuhankan akal dan pikiran semata. tetapi akal dan pikiran merupakan proses pencapaian kebenaran relatif didunia ini. Berbicara mengenai kebenaran, tidak tunggal adanya, artinya kebenaran yang ada sekarang hanya pada batas pemahaman akan kebenaran, tetapi kebenaran hakiki hanya milik Allah semata. Manusia hanya diberi keterbatasan dengan akal dan pikirannya. dalam perjalanannya ada perdebatan mengenai akal dan pikiran ini, apakah akal/pikiran dijadikan sebagai ilmu ('ilm) ataukah hati (qalb)? dan untuk mencapai ketakwaan, manusia harus berpikir dan berakal. "Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat) tanda-tanda bagi kaum yang berakal” (QS. Al-Ra’d : 4)
Qur'an sangat menjunjung peranan akal. Terdapat banyak ayat yang menyerukan agar akal dipergunakan secara benar, berpegang pada tujuan-tujuannya dan berdasarkan garis-garisnya yang lurus. Di dalam Qur'an kata akal ('aql). So dalam pemahaman saya, cogito ergo sum jangan dipahami sebagai pembatasan/penjauhan manusia dari Tuhannya, karena Tuhan menciptakan akan dan pikiran kepada manusia bukan untuk menjauhknnya. dan untuk dicatat, bahwa Descartes merujuk ini dari Al-Qur'an. Mungkin di curi dari khazanah keilmuan Islam. Kita harus berkembang dengan akal dan pikiran, jangan terlena dengan apriori/menuding pihak lain. mari berbenah dari dalam (Islam). karena sesungguhnya Islam adalah agama rahmatan lil alamien, rahmat bagi sekalian alam, bukan hanya milik umat Islam semata.

Just_Discussed_about_cogitoergosum