Ujian Moral
Ketika Ujian Nasional hendak dilaksanakan, banyak pihak yang bertandang untuk tujuan yang satu ini yaitu suksesnya ujian nasional dan seluruh peserta dinyatakan lulus semua. Setidaknya para guru, murid, orang tua anak, dinas pendidikan yang terkait, ulama dan bahkan pemda setempat sampai ketingkat menteri dan wakil presiden ikut memikirkan bagaimana strategi yang jitu agar anak didik dapat sukses ujian nasional.
Ujian Nasional dilaksanakan pada tanggal 22 s.d. 24 April 2008 untuk SLTA dan tanggal 5 s.d. 8 Mei 2008 dengan materi ujian meliputi bahasa Indonesia, Matematika dan bahasa Inggris. Momentum ini dianggap banyak orang sebagai momentum yang menentukan nasib seseorang dan seolah bila tidak lulus ujian bumi dan langit akan runtuh. Kita terjebak menjadi genarasi yang paranoid. Seolah tidak ada alternatif lain yang dapat ditempuh jika seseorang tidak lulus ujian.
Karena ketakutan yang luar biasa baik di pihak siswa maupun orang tua maka dapat kita baca dari berbagai media di berbagai tempat terjadi pelanggaran yang mengarah ke perbuatan curang dan tidak terpuji. Pelanggaran terjadi baik pada tingkat siswa, guru maupun kepala sekolah. Kejadian ini menyebabkan Mendiknas berkomentar bahwa kejujuran dan integritas moral lebih penting.
Bila perbuatan yang tidak terpuji itu dibiarkan maka bisa jadi hasil ujian nasional tinggi tetapi menjadi generasi yang tidak jujur. Ini sangat berbahaya. Apa arti sebuah nilai yang tinggi manakala kejujuran tidak dapat dipegang teguh.
Selama ini pendidikan yang kita berikan kepada siswa memang penuh muatan informasi. Ini karena tuntutan kurikulum menghendaki demikian. Proses belajar mengajar yang terjadi di kelas sering hanyut dalam pemindahan informasi saja kurang menekankan pada segi moral. Ukuran berhasil tidaknya siswa dilihat dari nilai yang dicapai siswa ketika mengikuti ulangan atau ujian.
Memang penilaian dari kemampuan siswa dalam mengerjakan ulangan atau ujian dapat memotivasi siswa belajar tetapi di sisi lain membawa siswa berusaha menyontek atau mencari bocoran soal, baik melalui HP maupun melalui cara-cara lain yang tidak dibenarkan.
UN yang diselenggarakan tiap tahun selalu saja ada kebocoran soal, jual beli jawaban, pemanfaatan HP untuk mengirim jawaban soal UN. Pelanggaran lainnya pun sering di dengar baik melalui kertas unyil maupun kertas yang di pasang di kamar mandi. UN dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan siswa sehingga menjelang pelaksanaan UN, siswa ramai-ramai mengadakan istighosah, doa bersama, salat malam, salat hajat dll.
Peran Orang Tua
Sebagai orang tua tentu mengharapkan putra-putrinya itu dapat lulus dalam mengikuti UN. Orang tua mana yang tidak menghendaki putra-putrinya lulus UN? Tetapi harapan itu tentu sudah disertai dengan usaha yang maksimal baik dari anak itu sendiri maupun dari orang tua yang dapat mendorong putranya belajar lebih giat. Bila semua cara yang positif itu sudah ditempuh, tentu orang tua harus dapat menyadarkan putra-putrinya itu untuk tawakal kepada Allah. Orang tua tidak boleh menuntut anaknya harus lulus bila ternyata memang keadaanya belum memungkinkan.
Sebagai orang tua jangan memberikan tekanan kepada anaknya dan bahkan orang tua menargetkan anaknya mendapat peringkat satu sementara kemampuan anaknya biasa-biasa saja. Bila keadaan demikian tidak mengherankan bila kemudian anaknya berbuat curang dengan melakukan jalan pintas agar lulus ujian dengan nilai baik.
Dalam melakukan bimbingan terhadap putra-putrinya, orang tua harus menyampaikan nilai-nilai kejujuran, ketekunan, keuletan, kedisiplinan seperti yang pernah dilakukan oleh para tokoh terkenal atau pernah dialami oleh para nabi. Kemukakan kepada putra-putrinya bahwa dibalik kegagalan dalam ujian tentu ada hikmah tersembunyi yang diberikan oleh Allah karena sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang.
Sudah barang tentu bila ternyata anaknya itu belum berhasil dalam menempuh ujian nasional, orang tua harus bersedia menerima hasilnya apa pun yang diperoleh anak setelah anak sudah berusaha semaksimal mungkin dengan segala kejujurannya.
Peran Guru
Guru berperan sangat penting dalam membimbing anak didiknya agar anak didiknya sukses dalam UN. Ia harus membimbing dengan tekun, sabar, ulet dan penuh dengan kedisiplinan. Ia harus mengajar sesuai dengan SKL yang akan diujikan, mencarikan materi pelatihan-pelatihan dan bila perlu mengundang guru tamu untuk memberikan tambahan materi. Bila dalam pengumuman kelulusan ternyata masih ada siswa yang tidak lulus, maka guru dapat mengevaluasi mengapa masih ada siswa yang belum lulus, apakah karena pemberian materi yang belum maksimal atau memang siswanya yang tidak bersungguh-sungguh.
Guru yang baik tidak sepatutnya menanamkan nilai-nilai kecurangan dengan mengubah jawaban LJK, mengedarkan kertas unyil yang isinya jawaban, membocorkan jawaban kepada siswa seperti yang kita baca di Koran atau kita lihat di TV. Sekali guru menanamkan nilai-nilai ketidakjujuran akan ditiru dan hal seperti itu dianggap sebagai kewajaran untuk membantu anak didiknya walaupun dengan perbuatan yang tidak terpuji.
UN yang sudah berlangsung sejak lama itu sebaiknya dijadikan sebagai tolok ukur untuk menguji integritas moral kita, baik integritas siswa, guru maupun orang tua sehingga tidak terjadi pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan
Integritas moral siswa akan tampak melalui perilaku jujur dalam mengerjakan soal UN. Bila integritas siswa telah terbangun, tidak akan terjadi lagi seorang siswa mengancam pengawas UN, memusuhi atau bahkan membenci pengawas tertentu karena dianggap kurang nyaman bila diawasi oleh orang tersebut.
Integritas moral guru akan tercermin dalam sikap guru yang dapat menghargai kejujuran siswa dan mau melakanakan aturan yang ditetapkan dalam UN dan mampu menciptakan suasana yang kondusif.
Integritas moral orang tua tercermin dalam menghargai kejujuran anaknya dan mau menerima apa adanya kondisi anaknya. Ia bangga mempunyai anak yang jujur meski nilainya rendah daripada mempunyai anak yang nilainya tinggi tetapi didapat dari perbuatan yang tidak terpuji.
Sudjono
No comments:
Post a Comment